Walikota dan DPRD Kota Semarang Menyimpang. Korupsi Kebijakan Tunjangan Perumahan Bagi DPRD Tak Wajar

SEMARANG - Kebijakan pemberian tunjangan perumahan Wakil Ketua Dewan dan anggota DPRD Kota Semarang oleh Walikota tahun 2015 dinilai menyimpang. Atas pemberian tunjangan meliputi listrik, air dan telepon senilai Rp 2,9 miliar harus dikembalikan ke negara.
Hal itu diungkapkan pakar Hukum Adminitrasi Negara Universitas Semarang, Dr Muhamad Junaedi. "Secara adminitrasi jika sudah diamanatkan Permendagri tiga unsur tunjangan itu dikecuali sebagai hak dewan. Secara subtansi harus dikembalikan. Jika tidak  masuk penyalahgunaan. Ini bentuk penyimpangan," kata Junaedi, Kamis (23/2).
Dikatakannya, kesalahan itu menjadi tanggung jawab Walikota Semarang selaku pihak yang menyetujui. "Walikota yang paling bertanggungjawab. Serta anggota dewan karena menyetujui," kata dia.
Atas keputusan itu, menurut dia, masuk kategori penyimpangan peraturan karena bertentangan dengan aturan di atasnya. "Karena itu bukan diskresi atu kebijakan dalam keadaan tertentu," lanjutnya.
Terkait belajja tak wajar dan menyimpang itu, Junaedi menyatakan, selurih anggota dewan yang menerima harus mengembalikan. "Saran saya. Konsultasikan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bagaimana mekanisme pengembalian dan keabalsahannya," jelasnya.
Ditambahkannya, penyimpangan itu akan masuk ranah pidana korupsi jika uang negara Rp 2,9 miliar itu tidak dilembalikan. "Itu masuk penyalahgunaan wewenang atau korupsi karena negara dirugikan. Konteksnya saya lihat lebik baik bukan korupsi. Tapi apa yang diterima harus dikembalikan," kata dia.
Terpisah, Rektor Undip Semarang, Prof Yos Johan Utama yang juga dimintai pendapat terkait hal itu mengakuinya. Yos tak secara tegas menjelaskan konsekuensi hukum atas dugaan penyimpangan itu. Namun menurutnya, masalah itu harus dikembalikan sesuai rekomendasi BPK.
"Sebaiknya okuti saja rekomendasi BPK yang biasanya ada dalam LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan). Tergantung apa isi rekomendasi BPK," kata dia.
Sementara, pihak Kejati Jateng yang menyelidiki dugaan korupsi itu tidak memberikan jawaban ketika dikonfirmasi. Heru Chaerudin, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Jateng tidak menjawab.
Dugaa  korupsi terjadi atas belanja tunjangan perumahan untuk 49 anggota dewan terdiri wakil ketua dan anggota. Ditemukan realiasasi belanja tidak efisian sebesar Rp 2.970.258.240.
Sebelumnya Pemerintah Kota Semarang pada TA 2015 menganggarkan belanja pegawai diantaranya Rp7,942 miliar untuk tunjangan perumahan dewan karena belum disediakan rumah dinas.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 30 Tahun 20l4 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Walikota Semarang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 18 tahun 2004 tentang Kedudukan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Semarang.  Ditetapkan, nilai tunjangan Rp 14 juta perbulan untuk pimpinan dan sebesar Rp 13,5 juta perbulan untuk anggota. Nilai itu berdasarkan hasil kajian tim independen yang ditunjuk Sekretaris DPRD.
Di dalamnya terdapat unsur tunjangan listrik, air dan telepon. Tunjangan listrik untuk Wakil Ketua Rp 2,6 juta sampai Rp 3 juta. Anggota Rp 2,5 juta - Rp 2,8 juta. Tunjangan telepon Wakil Ketua Rp 1,3 juta-Rp 1,5 juta, anggota Rp 1,2 juta - Rp 1,4 juta.
Tunjangan air PDAM Wakil Ketua Rp 1,3 - Rp 1,5 juta anggota Rp 1,2 juta - Rp 1,4 juta. Tunjangan sewa ruma Wakil Ketua Rp 7,3 juta - Rp 8,4 juta. Anggota Rp 6,9 miliar - Rp 7,9 juta. Jumlah Wakil Ketua Rp 12,7 juta - Rp 14,5 juta. Anggota Rp 11,9 juta - Rp 13,7 juta.
Dari pemeriksaan diketahui ketiga unsur itu seharusnya tidak termasuk. Untuk Wakil Ketua sebesar Rp5,3 juta dan anggota Rp 5 juta per bulan dengan estimasi Rp2,970 miliar dinilai tak wajar.
Kondisi itu tidak sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.31/006/PAKD tanggal 4 Januari 2006 tentang Tambahan Penjelasan Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2005 tentang Perubahan atas PP Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Anggota DPRD. Angka 3 huruf c yang menyatakan bahwa besaran tunjangan pertanahan yang dibayarkan adalah sesuai dengan standar satuan harga sewa rumah yang berlaku umum yaitu tidak termasuk meubelair, biaya listrik, air, gas dan telepon.
Permasalahan tersebut mengakibatkan membebani keuangan daerah sebesar Rp2.970.258.240.  Atas masalah tersebut Sekretariat DPRD menanggapi bahwa pemberian tunjangan perumahan tersebut dibayarkan dengan alasan perkembangan ekonomi Kota Semarang. Sehingga ditunjuk pihak independen untuk melakukan kajian tentang tunjangan perumahan. Aturan yang digunakan pihak independen merujuk kepada aturan terkait kedudukan protokoler dan keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Dalam pemeriksaannya, BPK hanya  merekomendasikan kepada Walikota Semarang agar penetapan nilai tunjangan perumahan sesuai dengan komponen yang diamr dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.31/006/PAKD.
Kasus dugaan korupsi itu telah dilaporkan masyarakat ke Kejati Jateng. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah didorong agar mengawasi penanganannya.rdi

0 comments:

Posting Komentar