Ahli Perbankan Sebut Terjadi Konflik Norma Perdata dan Pidana

SEMARANG - Prof Sulistyowati Irianto, Guru Besar Hukum Perbankan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta menilai terjadi konflik norma dan ketentuan antara hukum perdata dengan pidana. Khususnya terkait penerapan penyelesaian perkara kredit macet perbankan BUMN. Beda arti juga terjadi atas sifat kekayaan bank BUMN, yaitu sebagai uang negara atau tidak. Hal itu diungkapkan Prof Sulistyowati saat dimintai pendapat keahliannya pada sidang dugaan korupsi penyimpangan kredit pada BRI dan Bank Mandiri di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (24/5). "UU Tipikor menyebut kekayaan BUMN sebagai keuangan negara. Tapi jika dikaitkan UU Perseroan Terbatas dan UU BUMN, keduanya menyebut bukan. Kami menyebut ini konflik norma. Antara aturan hukum publik dan perdata," kata dia. Dijelaskannya, bank sebagai intern kredit harus hati hati memproses pengajuan kredit. Menerapkan prinsip 5 C, agar kredit benar sesuai tujuan UU Perbankan. "Caracter atau latar belakang kreditur. Capital, modal cukup. Capacity, kemampuan mengelola usaha dan membayar. Colateral, sebagai jaminan pelunasan. Condition of ekonomi, kondisi saat kredit," kata dia. Menurutnya, fungsi bank hanya memfasilitasi tanpa terlibat penyipan dokumen persyaratan. "Namun jika sifatnya memperlancar proses, bisa," ujar Prof Sulistyowati Irianto menjawab pertanyaan majelis hakim dipimpin Antonius Widijantono. Keputusan persetujuan kredit, bersifat berjenjang. Atas analisis kredit, bank menilai, berwenang dan bertanggungjawab menyetujui serta mencairkan kredit. Prof Sulis menyebut, 60 persen lebih modal bank BUMN berasal dari pihak ketiga, bukan negara. Sesuai UU PT dan UU BUMN, kata dia mengutip, BUMN merupakan badan usaha yang sebagian besar atau seluruhnya merupakan penyertaan modal dari negara. "Sebagai kekayaan yang dipisahkan dari APBN, secara hukum (60 persen lebih modal-red) itu bukan kekayaan negara, tapi kekayaan badan hukum. Itu terjadi sejak pengesahan badan hukum bank BUMN," imbuhnya. Mengacu hukim bisnis, penyelesaian kredit macet bank, harusnya lewat jalur perdata. Atas kredit yang dijaminkan dan diasuransikan sebagai pengalihan resiko, yang keduanya telah diklaim serta dicairkan. Menurutnya, pokok kredit dinilai lunas. "Tapi atas denda keterlambatan belum dianggap lunas. Tanggungjawab pelunasan itu tidak bisa dituntut pidana. Masuk pidana jika pengajuan didasari pidana seperti pemalsuan," jelas dia. Sementara, Dr Sigit Riyanto, ahli hukim pidana UGM menambahkan, pemidanaan tak lepas dari kesalahan. Perbuatan pidana dirumuskan secara materiil atau formil. "Keduanya disesuikan motif yang menjadi dasar sanksi," kata dia. Menurutnya, kredit macet, muncul dari penjanjian. Kredit macet masuk pidana, jika dilandasi suatu perbuatan pidana. "Tapi jika sepanjang dipenuhi unsur perdata. Maka masuk perdata," katanya. Sementara, atas penerapan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor sebagai delik pidana umum dan khusus dalam dakwaan, Anton Widijantono, ketua majelis hakim mengakui adanya kesummiran. Diakuinya, perdebatan atas implementasi hukum kedua pasal sejak lama terjadi dalam teori dan praktik. "Pembuatan UU, terkait penerapan pasal 2 dan 3 Tipikor apakah summir atau tidak. Itu sudah diskusi lama. Itu nemang jadi nasalah. Tapi dalam praktiknya, pasal 2 dan 3 dipakai dalam subsidiritas dalam pokok sejenis. Dalam praktinya ini diterima. Jika kita bahas lagi, kita akan mundur. Akhirnya itu diserahkan ke praktik peradilan. Dugaan penyimpangan kredit fiktif menyeret terdakwa Wahyu Hanggono, Direktur Indonesia Antique (IA). Kredit terjadi di BRI dan Mandiri Solo total Rp 10,5 miliar diajukan Wahyu atasnama beberapa karyawan sebagai calon plasma. Dana cair dikelola PT IA sebagaimana kesepakatan kreditur diketahui bank. Terpidana 6,5 tahun korupsi Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Semarang itu duketahui pailit dan tak mengangsur.rdi

0 comments:

Posting Komentar