JAKARTA - Sepanjang tahun 2016, Kejaksaan Agung menjatuhkan hukuman terhadap lebih dari 100 pegawai Kejaksaan. Rinciannya, ada 74 orang berstatus pegawai tata usaha dan 93 orang berstatus jaksa. Bila ditotal, terdapat 167 awak Korps Adhyaksa yang dijatuhi hukuman olah bidang Pengawasan Kejaksaan.
No | Jenis Hukuman | Tata Usaha | Jaksa | Jumlah |
1 | Ringan | 24 | 37 | 61 |
2 | Sedang | 18 | 31 | 49 |
3 | Berat | 32 | 25 | 57 |
Jumlah | 74 | 93 | 167 |
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Mochammad Rum, menjelaskan bahwa jenis hukuman yang diberikan kepada aparatur Kejaksaan dibagi menjadi tiga kategori, yakni hukuman ringan, hukuman sedang, dan hukuman berat. Sayangnya, ia tidak menjelaskan lebih rinci tindakan pelanggaran seperti apa yang dilakukan oleh ratusan aparatur Kejaksaan tersebut sehingga dijatuhi hukuman. “Berat itu bisa pemecatan,” kata Rum di gedung Kejaksaan, Rabu (4/1).
Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil mengatur jenis hukuman disiplin bagi pegawai negeri (saat ini disebut Aparatur Sipil Negara/ASN) mulai dari tingkat ringan, sedang, dan berat. Hukuman disiplin ringan berupa teguran lisan atau tertulis, serta pernyataan tidak pusat secara tertulis. Lalu, jenis hukuman sedang, terdiri dari penundaan gaji berkala selama satu tahun, penundaan kenaikan pengkat selama satu tahun, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun.
Sementara, hukuman disiplin berat sendiri terdapat lima jenis hukuman, antara lain penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. (Baca Juga:Mengintip ‘Pengadilan Profesi’ Para Jaksa)
“Nakal kan pidana sudah jalan, administrasi menyusul. Itukan perlu proses. Semuanya terproses, teregister, tercatat. Ada yang dicopot jabatannya,” sambung Rum.
Sumber: Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, 2017.
Pemberhentian terhadap jaksa tidaklah dilakukan semerta-merta. Selain karena jaksa adalah seorang aparatur sipil negara (ASN) dan juga sebagai profesi penegak hukum, hal itu membawa konsekuensi pada mekanisme pemberhentian yang ‘tidak biasa’ sebagai ASN akan tetapi lumrah bagi profesi. (Baca Juga: Ini Cara untuk Kecualikan Jaksa dalam UU Aparatur Sipil Negara)
“Jaksa juga ada proses yang khas apabila dia tidak tertangkap tangan, seperti dia harus izin Jaksa Agung,” ujar Dosen Tanggung Jawab Profesi Fakultas Hukum Universitas Indonesia R Narendra Jatna kepada Hukumonlinedi Jakarta, Maret tahun lalu.
Pasal 13 ayat (3) UU Nomor 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa jaksa diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Jaksa (MKJ). Teknisnya, diatur dalam PP Nomor 20 Tahun 2008tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, Dan Pemberhentian Sementera, Serta Hak Jabatan Fungsional Jaksa yang Terkena Pemberhentian.
“Posisi MKJ itu muncul ketika seorang jaksa mau diberhentikan dari profesinya,” tambah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur itu.
Dalam waktu 14 hari sejak jaksa menggunakan kesempatan untuk membela diri, Jaksa Agung wajib membentuk anggota majelis MKJ. Sementara, terhadap jaksa yang tidak menggunakan kesempatan membela diri. Jaksa Agung menerbitkan keputusan pemberhentian tana rekomendasi dari MKJ. (Baca Juga: 4 Alasan Jaksa Wajib Dikeluarkan dalam UU Aparatur Sipil Negara)
Pasal 17 ayat (1) PP Nomor 20 Tahun 2008 sendiri menyebutkan bahwa MKJ bertugas memberikan pertimbangan, pendapat, dan rekomendasi kepada Jaksa Agung terhadap usul Jaksa Agung muda Pengawasan (Jam Was) tentang pemberhentian seorang jaksa. “PJI (Persatuan Jaksa Indonesia) bisa beri advokasi,” ujarnya yang juga anggota PJI.
Susunan anggota majelis MKJ terdiri dari satu orang Ketua, dua orang Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris masing-masing satu orang, dan empat orang Anggota. Komposisinya sendiri diatur rinci dalam Kepja 017/A/JA/01/2004 tentang Majelis Kehormatan Jaksa. MKJ melakukan pemeriksaan terhadap laporan hasil pemeriksaan Jamwas (Jaksa Agung Muda Pengawasan) dan dokumen pendukungnya atau terhadap jaksa yang akan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Selain itu, Sidang MKJ dinyatakan sah apabila dihadiri paling kurang 2/3 dari jumlah anggota. Pemeriksaan sidang MKJ bersifat terbuka kecuali untuk hal-hal yang bersifat pelanggaran kesusilaan. Dalam mengambil keputusan, dilakukan majelis MKJ secara mufakat. Hasil keputusan itu disampaikan paling lambat tujuh hari kepada Jaksa Agung dan Jamwas setelah keputusan tersebut ditetapkan.
“Sekarang berhenti jadi jaksa berhenti juga jadi PNS. Dulu dipandang kalau jaksa berhenti dia tetap jadi Tata Usaha (TU),” ujar alumni FHUI itu.
Sumber : Hukumonline.com
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Mochammad Rum, menjelaskan bahwa jenis hukuman yang diberikan kepada aparatur Kejaksaan dibagi menjadi tiga kategori, yakni hukuman ringan, hukuman sedang, dan hukuman berat. Sayangnya, ia tidak menjelaskan lebih rinci tindakan pelanggaran seperti apa yang dilakukan oleh ratusan aparatur Kejaksaan tersebut sehingga dijatuhi hukuman. “Berat itu bisa pemecatan,” kata Rum di gedung Kejaksaan, Rabu (4/1).
Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil mengatur jenis hukuman disiplin bagi pegawai negeri (saat ini disebut Aparatur Sipil Negara/ASN) mulai dari tingkat ringan, sedang, dan berat. Hukuman disiplin ringan berupa teguran lisan atau tertulis, serta pernyataan tidak pusat secara tertulis. Lalu, jenis hukuman sedang, terdiri dari penundaan gaji berkala selama satu tahun, penundaan kenaikan pengkat selama satu tahun, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun.
Sementara, hukuman disiplin berat sendiri terdapat lima jenis hukuman, antara lain penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. (Baca Juga:Mengintip ‘Pengadilan Profesi’ Para Jaksa)
“Nakal kan pidana sudah jalan, administrasi menyusul. Itukan perlu proses. Semuanya terproses, teregister, tercatat. Ada yang dicopot jabatannya,” sambung Rum.
Sumber: Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, 2017.
Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil mengatur jenis hukuman disiplin bagi pegawai negeri (saat ini disebut Aparatur Sipil Negara/ASN) mulai dari tingkat ringan, sedang, dan berat. Hukuman disiplin ringan berupa teguran lisan atau tertulis, serta pernyataan tidak pusat secara tertulis. Lalu, jenis hukuman sedang, terdiri dari penundaan gaji berkala selama satu tahun, penundaan kenaikan pengkat selama satu tahun, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun.
Sementara, hukuman disiplin berat sendiri terdapat lima jenis hukuman, antara lain penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. (Baca Juga:Mengintip ‘Pengadilan Profesi’ Para Jaksa)
“Nakal kan pidana sudah jalan, administrasi menyusul. Itukan perlu proses. Semuanya terproses, teregister, tercatat. Ada yang dicopot jabatannya,” sambung Rum.
Sumber: Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, 2017.
Pemberhentian terhadap jaksa tidaklah dilakukan semerta-merta. Selain karena jaksa adalah seorang aparatur sipil negara (ASN) dan juga sebagai profesi penegak hukum, hal itu membawa konsekuensi pada mekanisme pemberhentian yang ‘tidak biasa’ sebagai ASN akan tetapi lumrah bagi profesi. (Baca Juga: Ini Cara untuk Kecualikan Jaksa dalam UU Aparatur Sipil Negara)
“Jaksa juga ada proses yang khas apabila dia tidak tertangkap tangan, seperti dia harus izin Jaksa Agung,” ujar Dosen Tanggung Jawab Profesi Fakultas Hukum Universitas Indonesia R Narendra Jatna kepada Hukumonlinedi Jakarta, Maret tahun lalu.
Pasal 13 ayat (3) UU Nomor 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa jaksa diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Jaksa (MKJ). Teknisnya, diatur dalam PP Nomor 20 Tahun 2008tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, Dan Pemberhentian Sementera, Serta Hak Jabatan Fungsional Jaksa yang Terkena Pemberhentian.
“Posisi MKJ itu muncul ketika seorang jaksa mau diberhentikan dari profesinya,” tambah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur itu.
Dalam waktu 14 hari sejak jaksa menggunakan kesempatan untuk membela diri, Jaksa Agung wajib membentuk anggota majelis MKJ. Sementara, terhadap jaksa yang tidak menggunakan kesempatan membela diri. Jaksa Agung menerbitkan keputusan pemberhentian tana rekomendasi dari MKJ. (Baca Juga: 4 Alasan Jaksa Wajib Dikeluarkan dalam UU Aparatur Sipil Negara)
Pasal 17 ayat (1) PP Nomor 20 Tahun 2008 sendiri menyebutkan bahwa MKJ bertugas memberikan pertimbangan, pendapat, dan rekomendasi kepada Jaksa Agung terhadap usul Jaksa Agung muda Pengawasan (Jam Was) tentang pemberhentian seorang jaksa. “PJI (Persatuan Jaksa Indonesia) bisa beri advokasi,” ujarnya yang juga anggota PJI.
Susunan anggota majelis MKJ terdiri dari satu orang Ketua, dua orang Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris masing-masing satu orang, dan empat orang Anggota. Komposisinya sendiri diatur rinci dalam Kepja 017/A/JA/01/2004 tentang Majelis Kehormatan Jaksa. MKJ melakukan pemeriksaan terhadap laporan hasil pemeriksaan Jamwas (Jaksa Agung Muda Pengawasan) dan dokumen pendukungnya atau terhadap jaksa yang akan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Selain itu, Sidang MKJ dinyatakan sah apabila dihadiri paling kurang 2/3 dari jumlah anggota. Pemeriksaan sidang MKJ bersifat terbuka kecuali untuk hal-hal yang bersifat pelanggaran kesusilaan. Dalam mengambil keputusan, dilakukan majelis MKJ secara mufakat. Hasil keputusan itu disampaikan paling lambat tujuh hari kepada Jaksa Agung dan Jamwas setelah keputusan tersebut ditetapkan.
“Sekarang berhenti jadi jaksa berhenti juga jadi PNS. Dulu dipandang kalau jaksa berhenti dia tetap jadi Tata Usaha (TU),” ujar alumni FHUI itu.
“Jaksa juga ada proses yang khas apabila dia tidak tertangkap tangan, seperti dia harus izin Jaksa Agung,” ujar Dosen Tanggung Jawab Profesi Fakultas Hukum Universitas Indonesia R Narendra Jatna kepada Hukumonlinedi Jakarta, Maret tahun lalu.
Pasal 13 ayat (3) UU Nomor 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa jaksa diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Jaksa (MKJ). Teknisnya, diatur dalam PP Nomor 20 Tahun 2008tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, Dan Pemberhentian Sementera, Serta Hak Jabatan Fungsional Jaksa yang Terkena Pemberhentian.
“Posisi MKJ itu muncul ketika seorang jaksa mau diberhentikan dari profesinya,” tambah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur itu.
Dalam waktu 14 hari sejak jaksa menggunakan kesempatan untuk membela diri, Jaksa Agung wajib membentuk anggota majelis MKJ. Sementara, terhadap jaksa yang tidak menggunakan kesempatan membela diri. Jaksa Agung menerbitkan keputusan pemberhentian tana rekomendasi dari MKJ. (Baca Juga: 4 Alasan Jaksa Wajib Dikeluarkan dalam UU Aparatur Sipil Negara)
Pasal 17 ayat (1) PP Nomor 20 Tahun 2008 sendiri menyebutkan bahwa MKJ bertugas memberikan pertimbangan, pendapat, dan rekomendasi kepada Jaksa Agung terhadap usul Jaksa Agung muda Pengawasan (Jam Was) tentang pemberhentian seorang jaksa. “PJI (Persatuan Jaksa Indonesia) bisa beri advokasi,” ujarnya yang juga anggota PJI.
Susunan anggota majelis MKJ terdiri dari satu orang Ketua, dua orang Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris masing-masing satu orang, dan empat orang Anggota. Komposisinya sendiri diatur rinci dalam Kepja 017/A/JA/01/2004 tentang Majelis Kehormatan Jaksa. MKJ melakukan pemeriksaan terhadap laporan hasil pemeriksaan Jamwas (Jaksa Agung Muda Pengawasan) dan dokumen pendukungnya atau terhadap jaksa yang akan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Selain itu, Sidang MKJ dinyatakan sah apabila dihadiri paling kurang 2/3 dari jumlah anggota. Pemeriksaan sidang MKJ bersifat terbuka kecuali untuk hal-hal yang bersifat pelanggaran kesusilaan. Dalam mengambil keputusan, dilakukan majelis MKJ secara mufakat. Hasil keputusan itu disampaikan paling lambat tujuh hari kepada Jaksa Agung dan Jamwas setelah keputusan tersebut ditetapkan.
“Sekarang berhenti jadi jaksa berhenti juga jadi PNS. Dulu dipandang kalau jaksa berhenti dia tetap jadi Tata Usaha (TU),” ujar alumni FHUI itu.
Sumber : Hukumonline.com
0 comments:
Posting Komentar