Kasasi JPU Ditolak. Mantan Ketua Golkar Demak Bebas

SEMARANG - Upaya kasasiJaksa Penuntut Umum (JPU) terkait putusan lepas Budi Achmadi, mantan Ketua DPD Partai Golkar Demak, terdakwa perkara dugaan korupsi dana bantuan politik tahun 2010-2012 ditolak. Mahkamah Agung (MA) yang memeriksa perkara kasasi nomor 317 K/PID.SUS/2016 menolaknya. Putusan dijatuhkan majelis hakim Mohamad Askin, Leopold Luhut Hutagalung dan Surya Jaya pada 20 Desember lalu.
"Amar Putusan : TOLAK (kasasi)," kata hakim dalam putusannya yang dilansir dalam website perkaranya.
Kasasi diajukan JPH dan masuk ke MA 15 Februari 2016. Pada 8 Agustus mulai diperiksa. Dikonfirmasi perihal putusan itu, Panitera Muda Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tipikor Semarang, Heru Sungkowo mengaku belum mengetahui. "Belum ada relas resmi pemberitahuan putusan terkait perkara kasasi itu. Jika di web sudah ada, mungkin memang sudah diputus,"kata Heru di kantornya, Rabu (11/1).
Senada diungkapkan pengacara Budi Achmadi, T Yosep Parera. Ia mengaku belum memgetahuinya.
"Kami belum tahu. Tapi jika benar ditolak, artinya hakim menguatkan putusan sebelumnya,"kata Yosep.
Budi Achmadi SE sebelumnya dilepaskan dari tuntutan hukum. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang yang memeriksa perkara sebelumnya menyatakan terdakwa terbukti bersalah, namun perbuatannya bukan merupakan korupsi.
"Menyatakan terdakwa Budi Achmadi bin Achmad Rozi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan lebih subsidair, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi," kata Alimin R Sudjono, didampingi Gatot Susanto dan Kalimatul Jumro saat membacakan putusannya pada sidang, Selasa (3/11) 2015 lalu.
Dari pemeriksaan sidang, ia terbukti bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 ayat 1 huruf b UU nomor 31/ 1999 sebagaimana diubah dan ditambah UU nomor 20/ 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Atas putusannya, hakim melepaskan terdakwa dari seluruh tuntutan hukum (ontskag), memulihkan hak-haknya dalam kedudukan, harkat serta martabat.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah menyalahgunakan wewenang. Ia memerintahkan Agus Indarto, anak buahnya membuat Lpj fiktif atas dana banpol yang turun di akhir tahun anggaran. Atas dana yang turun di akhir itu, sebelumnya ia memberikan dana talangan untuk sejumlah kegiatan sejak awal tahun.
Meski nyatanya ada pengeluaran terkait dana banpol yang tapi tidak dimasukan dalam Lpj. Ia dinilai menyalahgunakan wewenang atas jabatannya sebagai Ketua DPD Golkar Demak dengan menggunakan Lpj fiktifnya. Meski tidak ada kerugian negara, penalangan itu tidak tercatat dengan baik.
"Tindakan penalanganan dan tidak mengadmintrasi penggunaan itu sangat berpengaruh besar dan jelas berpotensi merugikan keuangan negara," kata Alimin.
Mengutip pendapat Prof Satjipto Raharjo, hakim menganalogikan tindakan terdakwa ibarat petugas polisi lalu lintas yang melanggar sendiri aturan demi kelancaran lalu lintas. Atas tindakan itu, menurut hakim hal itu tidaklah tepat untuk dihukum.
Ditengah dana banpol partai yang dirasa minim. Apalagi pencairannya dana di akhir tahun, padahal penggunaan sangat dibutuhkan sejak diawal. Hakim menilai, hal itu tentunya menjadi masalah di seluruh Demak. Tindakan pencairan dana banpol diakhir tahun, akan menjerumuskan ke tindakan kejahatan.
"Hakim sependapat dengan penasehat hukum terdakwa, meski Lpj dibuat sebaik apapun pasti akan fiktif," kata dia.
Dari uraian itu, pangkal masalah menurut hakim terjadi pada mekansime pencairan dan penggunaan, sehingga sistem harus diperbaiki. Perbuatan terdakwa yang karena sistem, menjadi penyebabnya.
Terkait pengembalian uang pengganti oleh terdakwa sebelumnya ke kasda Pemkab Demak, perlu dipahami bahwa itu adalah bantuan. Hak penerima untuk memanfaatkan bantuan itu, jika sebaliknya mengembalikan.
Kasus dugaan korupsi menyeret, anggota DPRD Kabupaten Demak periode 2014-2019 atas dana banpol tahun 2010-2012. Pada tahun 2010 terdakwa selaku Ketua DPD mengajukan dana Banpol ke Kesbangpol Linmas setempat dan dicairkan dananya. Atas pengelolaannya, ia menyuruh Agus Endarto ST membuat Lpj fiktif sejumlah Rp 133 juta..
Pada tahun 2011 pengajuan dana Banpol kembali diajukan terdakwa ke instansi terkait dan kembali mendapat Rp 133.650.000. Atas pencairan itu kemudian juga dibuatkan Lpj secara fiktif. Tindakan itu kembali dilakukan pada tahun 2012 sebesar Rp 133.650.000.
Bahwa akibat perbuatannya negara telah dirugikan sebesar Rp 224.325.552. Dari jumlah itu, sebagain telah dikembalikan dan menyisakan sekitar Rp 64 juta. Ia sebelumnya dituntut 15 bulan penjara, denda Rp 50 juta subsidair 3 bulan kurungan. Serta membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 64.142.000 subsidair 8 bulan.

0 comments:

Posting Komentar