Kasus Suap bupati Klaten: Ada kaitan dinasti politik dan korupsi?

Operasi tangkap tangan KPK terhadap Bupati Klaten Sri Hartini serta tujuh orang lainnya, menurut pengamat, membuktikan kaitan erat dan signifikan antara dinasti politik dan korupsi, namun hal ini dibantah oleh Gubernur Jawa Tengah dan kader PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo.Bupati Klaten Sri Hartini yang juga adalah kader PDI Perjuangan dituduh menerima suap terkait promosi jabatan dalam pengisian susunan organisasi dan tata kerja organisasi perangkat daerah seperti diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.Dari rumah dinas Sri Hartini, KPK mengamankan uang sekitar Rp2 miliar dan pecahan mata uang asing US$5.700 dan SGD2.035, selain juga catatan penerimaan uang.KPK juga mengamankan Suramlan alias SUL, Kepala Seksi SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten, yang diduga berperan sebagai pemberi suap.Mendiang suami Sri Hartini, Haryanto Wibowo, pernah menjabat bupati Klaten pada periode 2000-2005, dan Sri Hartini sebelumnya pernah menjabat sebagai wakil bupati Klaten, serta pernah menjadi ketua DPC PDIP Klaten periode 2006-2010 dan bendahara DPD PDIP Jawa Tengah periode 2010-2015.Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai bahwa dinasti politik di Indonesia adalah salah satu upaya untuk melanggengkan kekuasaan."Dinasti politik di Indonesia dan kaitannya dengan korupsi, agak signifikan, kalau tidak bisa dikatakan relatif signifikan, kaitannya dengan korupsi. Karena memang karakter dinasti politik di Indonesia, dia hadir dengan mengabaikan integritas, kompetensi, dan kapasitas, ketika mereka dinominasikan untuk merebut suatu kekuasaan atau sebuah posisi publik," kata Titi.Alhasil, mereka yang diajukan sebagai calon kepala daerah dari dinasti politik, menurut Titi, tak melalui proses kaderisasi, rekrutmen yang demokratis, atau proses penempaan aktivitas politik yang terencana, sehingga kandidat yang muncul pun sekadar 'untuk memperkokoh kekuasaan'.Bergantian menjabatMendiang suami Sri Hartini, Haryanto Wibowo, pernah menjabat bupati Klaten pada periode 2000-2005. Pada dua periode perikutnya, yaitu 2005-2010 dan 2010-2015, Sunarna yang menjabat bupati dengan Sri Hartini sebagai wakilnya.Kemudian setelah Sunarna selesai menjabat dua periode dan tak bisa maju lagi, 'giliran' Sri Hartini yang naik sebagai bupati dan posisi wakil bupati diisi oleh istri Sunarna, Sri Mulyani. Pasangan Sri Hartini-Sri Mulyani rencananya akan menjabat sebagai pasangan bupati dan wakil bupati dari 2016-2021 nanti.Ketika kompetensi Sri Hartini sebagai bupati ditanyakan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dia menjawab, "Dia menang kok. Di Indonesia pasangan (kepala daerah-wakil kepala daerah) perempuan-perempuan sangat sedikit, dan dia menang. "Artinya apa? Dengan segala catatan yang dimiliki oleh publik, dia menang. Orang boleh suka, boleh tidak suka, boleh analisis macam-macam, dia menang. Jadi kalau dia menang, artinya dia terbaik atau tidak? Sebenarnya itu saja yang ingin kita sampaikan," jelas Ganjar.Ganjar, yang juga berasal dari partai yang sama dengan Sri Hartini, membantah bahwa dalam kasus bupati Klaten, dinasti politik pasti akan terkait dengan korupsi."Orang mau korupsi itu, menurut saya, tidak ada urusan sama itu keluarga, bahwa ada kecenderungan-kecenderungan, potensi-potensi, sangat mungkin semuanya terjadi. Adakah analisis yang sekarang bisa kita munculkan, apakah yang setelah suaminya, istrinya (menjabat) itu, kita berani menganalisis dia akan korupsi, atau dia tidak tidak akan korupsi? Fifty-fifty," kata Ganjar.Tetapi, menurut Titi, sering terpilihnya kandidat dari keluarga petahana tak bisa sepenuhnya 'disalahkan' pada pemilih.Alasannya, pemilih sekadar menerima calon yang disodorkan oleh partai politik. "Tidak ada kuasa si pemilih untuk mengintervensi proses pencalonan yang ada di partai politik".Selain itu, menurut Titi, calon yang menjadi kompetitor bagi anggota dinasti politik tersebut juga tidak lebih baik."Cenderung partai-partai menurunkan calon untuk melawan dinasti politik, lewat proses pencalonan instan dan tidak mengakar, sementara calon dari dinasti politik sudah sangat solid, sudah sangat mengakar, dan sudah mempersiapkan untuk melanggengkan kekuasaan sejak lama," ujar Titi."Di Klaten itu kan istrinya ya (yang menjadi bupati), yang selalu terlibat, berinteraksi dengan aktivitas-aktivitas suaminya, berelasi dengan PNS, di ruang-ruang publik, ini kemudian mereka memiliki keunggulan dari sisi popularitas, modal sosial, dan akses kekuasaan. Apalagi partai politik memang dikuasai juga oleh dinasti politik," tambah Titi.Sedangkan calon perseorangan juga tak bisa jadi alternatif bagi para pemilih, karena beratnya syarat untuk maju menjadi calon independen.Titi menyayangkan langkah Mahkamah Konstitusi yang pada 2015 lalu membatalkan aturan terkait kerabat petahana dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang awalnya bertujuan membatasi dinasti politik.Dalam pasal 7 huruf R UU itu, seseorang yang mempunyai hubungan darah atau ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, tidak boleh maju menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.Namun, menurutnya, ada aturan lain yang bisa digunakan untuk membatasi 'mengguritanya dinasti politik', yaitu lewat mempermudah syarat bagi calon independen untuk maju atau dengan melibatkan anggota partai untuk terlibat dalam pemilihan internal terhadap calon kepala daerah, sedangkan sementara ini penentuan kandidat calon kepala daerah dari suatu partai politik seringnya hanya melibatkan elite.PDI Perjuangan sudah memecat Sri Hartini dari kader partai sebagai sanksi setelah tertangkap tangan oleh KPK.Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, tindakan Sri Hartini tersebut sangat tidak pantas dan PDI-P juga meminta maaf atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh Hartini.Lelang jabatanSementara itu, terkait penangkapan tangan Bupati Klaten Sri Hartini, juru bicara KPK Febri Diansyah meminta agar Kementerian Dalam Negeri mencermati proses pengisian jabatan bagi pejabat di tingkat daerah.Pasalnya, ini adalah untuk pertama kalinya suap terkait penempatan jabatan oleh kepala daerah yang terungkap dan ditangani oleh KPK."Dan ternyata nilainya cukup signifikan," kata Febri.Selama ini, menurut Febri, tindak korupsi yang banyak dilakukan oleh kepala daerah biasanya terkait dengan pengesahan APBD."Apakah misalnya nanti dibutuhkan sebuah aturan agar dalam pengisian jabatan tersebut harus ada proses yang transparan, akuntabel. Jadi lelang jabatan yang dilakukan itu dalam konsep kompetensinya diukur, indikatornya jelas, dan bahkan melibatkan pihak yang independen. Nah sekarang dalam kasus ini, indikasi yang kita dapatkan tidak demikian, dan aturannya tidak terlihat belum cukup jelas untuk bisa diterapkan lebih lanjut," kata Febri.Menurut Febri, jika pejabat yang dilantik sebelumnya sudah membayar uang, maka akan sangat kecil kemungkinan pejabat tersebut akan betul-betuk melayani masyarakat. "Dan justru relasi korupsi akan lebih solid di daerah tersebut," tambahnya.KPK, menurut Febri, juga sudah mendapat informasi adanya sejumlah pemberian uang suap dalam rentang waktu penyelidikan mereka, sehingga mereka akan mendalami lebih lanjut indikasi dugaan suap yang diberikan oleh pejabat-pejabat lain di Kabupaten Klaten kepada bupati.Selain itu, KPK juga mengkhawatirkan bahwa modus ini tidak hanya terjadi di Klaten, karena Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dan pengisian susunan organisasi dan tata kerja organisasi perangkat daerah berlaku secara nasional."Kami imbau ke masyarakat untuk melapor ke KPK atau tim saber pungli kalau ada indikasi-indikasi jual beli jabatan," katanya.Menanggapi ini, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Doddy Riatmaji mengatakan bahwa proses lelang jabatan 'pasti' sudah terjadi 'karena sudah undang-undangnya'."Artinya, pada saat untuk pengisian jabatan untuk eselon 1 dan 2 itu kan sudah memang harus dilakukan open bidding, lelang jabatan itu menjadi kewajiban baik bagi kepala daerah sebagai pembina kepegawaian daerah maupun kepala SKPD atau kepala lembaga-lembaga di pemerintah," katanya.
Sumber : bbc.com

0 comments:

Posting Komentar